Oleh : Andika
Dalam dinamika pemerintahan kita, ada perdebatan panjang soal apakah kepala daerah berhak membawa visi-misi sendiri atau cukup mengacu pada visi Presiden.
Selama era reformasi, otonomi daerah dimaknai sebagai kebebasan politik lokal, termasuk menghadirkan “visi kepala daerah” yang berbeda. Namun, kini kita memasuki fase baru: gejolak global, ancaman perang dagang, dan kompetisi geopolitik memaksa Indonesia merapikan barisan pembangunan nasionalnya.
Pemangkasan Dana Bagi Hasil (DBH) dan arah sentralisasi fiskal adalah sinyal kuat: pemerintah pusat ingin kontrol penuh atas jalannya pembangunan.
APBD tidak lagi boleh keluar dari rel APBN. Dengan demikian, kepala daerah harus belajar bahwa dirinya bukan lagi pengusung visi pribadi, melainkan operator pembangunan yang mengeksekusi visi Presiden di tingkat lokal.
Bila sebelumnya Pilkada diwarnai adu janji politik dengan jargon masing-masing, ke depan orientasinya berubah: siapa yang paling mampu melaksanakan visi nasional, dialah yang layak dipilih.
Kepala daerah tidak lagi menjadi “visioner” ala politisi, tetapi “manajer” pembangunan ala teknokrat.
Mengapa hal ini penting?
Karena visi pembangunan kini tidak berdiri sendiri, tetapi erat terkait dengan pertahanan nasional. Presiden telah mendorong belanja alutsista, industrialisasi pangan, serta ketahanan energi sebagai pilar strategis. Dalam situasi global yang penuh ketegangan saat ini: mulai dari konflik Laut Cina Selatan, rivalitas AS-Tiongkok, hingga instabilitas Timur Tengah, Indonesia harus bersiap menghadapi transisi geopolitik.
Kekuatan negara tidak hanya diukur dari kapal perang atau jet tempur, tetapi juga dari seberapa solid barisan pemerintahannya.
Jika pemerintah pusat dan daerah berjalan di rel yang sama, kita punya daya tahan lebih kuat menghadapi guncangan global, baik dari sisi ekonomi maupun politik.
Sebaliknya, bila daerah masih sibuk dengan visi pribadi, maka fragmentasi fiskal akan melemahkan konsolidasi pertahanan nasional.
Kita sedang berada di titik krusial transisi dunia multipolar.
Negara-negara besar memperkuat blok perdagangan dan pertahanannya.
Dalam kondisi ini, Indonesia tidak bisa lagi berlama-lama dalam “politik pembangunan yang terpecah-pecah”. Visi tunggal Presiden yang diikuti seluruh daerah adalah langkah strategis menuju kekuatan kolektif nasional.
Maka, saatnya kita berani mengambil sikap: visi daerah harus tunduk pada visi Presiden. Bukan berarti daerah kehilangan identitas, tetapi justru diarahkan untuk menjadi bagian dari “Buku Besar Pembangunan dan Pertahanan Nasional” yang menjadi induk fiskal dan strategi.
Kepala daerah yang sukses di era baru ini bukanlah yang pandai menjual mimpi lokal, melainkan yang cekatan menjalankan visi nasional.
Dengan barisan yang rapi, Indonesia bukan hanya siap membangun dari Sabang sampai Merauke, tetapi juga siap berdiri tegak dalam dinamika ketegangan global yang kian keras.
